Minggu, 28 April 2013

Erdogan dan Transformasi Politik Islami di Turki Puisi Religius


Ahmad Dzakirin

“Gerakan Islam sukses membangun garis demarkasi yang tegas antara generasi muda Islami & orang tua mereka yang secular”  (Huttington dlm Islam versus US, the Islamic Resurgence) 
Sukses AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) tak dapat dilepaskan dari sosok Recep Thayyib Erdogan. Sosok politik yang di citra kan integritas moral yang tinggi, efektif & berwawasan terbuka. Dia dikenal publik sebagai walikota Istanbul yang pro rakyat hingga kemudian dijebloskan ke penjara di 1998 karena dosanya membaca puisi religius.
Selepas dari penjara, Erdogan melakukan serangkaian terobosan politik yang berseberangan dgn mentor spiritual nya, Necmetin Erbakan. 14 Agustus 2001, dia mendirikan partai baru, AKP beserta 20 kolega seniornya dari Partai Kebajikan (Fazilat partisi). Secara mengejutkan, partai ini memenangi pemilu November 2002 dgn memperoleh 34 persen kursi Parlemen setara dgn 363 kursi dari total 550 kursi parlemen yang diperebutkan. Sebaliknya, Partai Saadat, bentukan Erbakan hanya memperoleh 2,5 persen sehingga gagal mencapai syarat 10 persen parliamentary threshold.
Penjara telah merubah cara pandang politiknya dlm menghadapi ekstremitas sekularis di Turki. Langkah politik berseberangan terpaksa diambil karena sang guru bergeming dgn sarannya. Partai baru yang didirikannya melakukan serangkaian terobosan politik yang dulu diharamkan atau setidaknya dihindari oleh Erbakan, yakni penerimaan ideologi sekuler Kemalis & dukungan pada Barat. Kedua isu ini telah menjadi haluan politik yang tak tergoyahkan di sepanjang terbentuknya Republik Turki di 1928. 
Kalangan Islami tak dapat menantang benteng tangguh secularism yang digawangi militer. Untuk itu, tak ada pilihan bagi kalangan islami kecuali melakukan moderasi & penghindaran konflik langsung dgn militer. Politik Turki sendiri menyaksikan jatuh bangun nya partai Islami menghadapi ideologi Kemalis. Dalam refleksi nya, jalan ketiga yang lebih fleksibel -lebih mengedepankan interpretasi longgar sekularisme ketimbang mempertentangkan nya dgn Islam- harus ditempuh utk memecah kebuntuan gerakan Islam. Oleh karena itu, partai baru, AKP tak segan menyatakan komitmennya atas ideologi sekuler & ‘berkiblat’ ke Barat.
Lebih jauh, Erdogan menolak identifikasi AKP sebagai partai islami & condong mengidentikkan diri sebagai partai kanan tengah konservatif (conservative right-center) seperti halnya partai Kristen Demokrat dlm tradisi politik Eropa. Sebagai bagian interpretasi liberal nya, relijiusitas hanya melekat pada individu & bukan pada institusi partai. Baginya, partai pada dasarnya adalah institusi sekular yang tak dapat dieksploitasi bagi kepentingan politik. Seseorang dapat menjadi religius namun sekular dlm pilihan politiknya.
Bernegosiasi Dengan Militer 
Erdogan memahami militer sebagai sumber ancaman. Berbeda dgn pendahulunya, dia lebih memilih bernegosiasi dgn kalangan militer namun mampu memitigasi ancaman tadi melalui peran pihak ketiga, Uni Eropa. Keanggotaan Turki dlm Uni Eropa adalah satu-satunya langkah rasional menghindari intervensi militer dlm pemerintahannya. Dengan meratifikasi 14 paket reformasi perundang-undangan yang disyaratkan Uni Eropa (EU), di antaranya kebebasan berpendapat & mengurangi campur tangan militer adalah bentuk lain pact of restrain (langkah pembatasan) bagi deep state (militer & peradilan) yang kerap melakukan kudeta dgn dalih menjaga secularism Turki.
Turki memperoleh status kandidat anggota Uni Eropa sehingga diperkenankan hadir sebagai pengamat atau observer dlm setiap sidang Uni Eropa. Turki masuk dlm yurisdiksi pengadilan HAM Uni Eropa dlm penyelesaian persengketaan HAM. Selain itu, AKP sendiri masuk dlm dari jaringan keanggotaan People’s Party, partai konservatif Eropa dgn status pengamat. Status ini akan meningkat seiring dgn diterimanya keanggotaan Turki dlm Uni Eropa. Proses institusionalisasi Turki dlm Uni Eropa –walau setengah hati karena keengganan beberapa negara utama EU – telah menjadi batu sandungan bagi upaya dipolitisasi AKP & kalangan Islami. Uni Eropa beberapa kali memperingatkan militer tak melakukan kudeta militer & melepaskan diri dari campur tangan politik. 
Namun pertarungan kedua kubu memasuki babak baru. Polisi Turki, 1 Juli 2008 menangkap & menggulung rencana subversif kelompok ultra nasionalis di bawah pimpinan dua mantan petinggi militer, Jenderal Sener Eruygur & Hursit Tolon. Pembongkaran rencana kudeta terjadi sehari sebelum Mahkamah Agung –benteng sekuler kedua setelah militer- memulai sidang gugatan bagi pembubaran AKP & pelarangan 71 tokoh kunci partai ini dlm berpolitik. Dalam skenarionya, kelompok Ergenekon yang dekat dgn militer ini berencana melakukan serangkaian aksi terror dari pemboman hingga pembunuhan politik utk memberikan jalan militer utk mengambil alih kekuasaan demi alasan keamanan.
Kendati kalangan Militer melalui Kastaf AD, Jenderal Hilmi Ozkok memperingatkan Erdogan atas beberapa maneuver politik partai ini, Erdogan & beberapa elit politik AKP cukup belajar dari pengalaman politik pendahulunya dimana rasionalitas hukum tunduk di bawah interpretasi & irasionalitas sepihak kalangan sekuler. Mereka kini cenderung bersikap hati-hati & menghindari konfrontasi –setidaknya perang pernyataan- langsung dgn militer & kelompok sekuler. Erdogan tak segan-segan mendatangi kalangan petinggi militer utk meredam konflik & bahkan melarang pengikutnya menampakkan ekspresi keislaman berlebihan dlm setiap kampanye karena dikhawatirkan mengundang interpretasi salah kalangan sekuler.
Penerimaan AKP terhadap secularism & perubahan orientasi politik AKP terbukti kemudian mampu meredam ketegangan & resistensi domestik, memperlemah posisi militer namun pada saat bersamaan semakin memperkuat eksistensi kalangan Islami. AKP menyabet dua kali kemenangan fantastis dlm pemilu parlemen.
Siapkah Eropa Menerima Turki?
Kendati Uni Eropa menyambut proses moderasi kalangan Islami & reformasi politik domestik Turki, namun beberapa negara utama Uni Eropa tak siap dgn kehadiran negeri dgn mayoritas Muslim tersebut. Ada beberapa alasan yang mendasari sikap setengah hati Eropa:
Pertama, kendati Uni Eropa secara formal lebih merupakan aliansi kepentingan & geografis namun tak terhindarkan alasan ideologis melandasi keengganan beberapa negara Eropa utama, seperti Jerman, Perancis & Austria. Negara-negara tersebut tak dapat melepaskan pesona Turki sebagai bekas imperium besar dunia dgn identitas relijiusitas nya. Masuknya Turki akan menjadi batu ujian Uni Eropa utk membuktikan apakah asosiasi geografis ini secara tersirat sebagai asosiasi Christian Club.
Kedua, masuknya Turki akan merubah keseimbangan demografis Eropa. Turki dgn populasi lebih dari 70 juta menjadi anggota Uni Eropa dgn populasi terbesar. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menciptakan tantangan internal Uni Eropa dlm memperebutkan pasar & tenaga kerja. Ketiga, karakter etnis tas Turki seperti halnya Chinese Overseas yang memiliki karakter ulet serta ikatan kultural & ideologis yang kuat dgn leluhurnya telah menyebar ke seluruh benua Eropa, terbesar di antaranya berada di Perancis & Jerman. Dalam perspektif ini, sebagian negara Eropa khawatir jika eksistensi minoritas Turki akan melahirkan ancaman & rivalitas domestik.
Belajar dari Turki
Gerakan Islam patut belajar dari jatuh bangunannya gerakan Islam di Turki. Era Erdogan lebih tepat diinterpretasikan sebagai kebutuhan bagi kontinuitas & existential gerakan Islam. Jika Erbakan telah meletakkan landasan kultural yang kokoh bagi arus revivalism Islam maka transformasi politik Erdogan meletakkan landasan politik yang lebih memadai & stabil dlm menghadapi tantangan aktualisasi nilai Islam. Erdogan sejatinya telah memetik buah yang ditanam Erbakan dgn menawarkan jalan ketiga yang lebih proporsional & realistis.
Re definisi sekularisme Turki dlm perspektif nya tak dapat dilepaskan dari Islam. Secara faktual moralitas Islam telah memberikan landasan kokoh bagi langkah pemulihan ekonomi Turki yang sebelumnya menderita hyper inflasi karena salah urus & korupsi. Realitas ini tak pelak berimplikasi pada pilihan afiliasi & asosiasi politik rakyat Turki yang tak tergoyahkan pada gerakan Islam dis epanjang 3 dekade. (lihat tabel). Jika pendulum dukungan politik bergeser dari Erbakan kepada Erdogan, hal itu lebih karena preferensi rasional pendukung publik Turki atas jalan ketiga yang ditempuh Erogan.
Berbeda dgn inisiatif politik pendahulunya, Erbakan yang membentuk D8 (Developing Eight), Erdogan tak canggung utk menyatakan keinginannya utk bergabung dgn Uni Eropa. Reorientasi afiliasi kawasan Erdogan terbukti lebih banyak memberikan keuntungan politik bagi AKP ketimbang bagi calon induk semang nya, Uni Eropa. Uni Eropa telah menjadi entitas ekonomi & politik terpenting setelah AS & diprediksi kan Turki akan menjadi pemain penting dlm persekutuan negara-negara Eropa. Dalam skenario ini, Turki akan menjadi kekuatan penting di dunia karena sukses menempatkan dua kakinya, sebagian di kawasan Eropa & sebagian lainnya di kawasan Asia & negara-negara Muslim. Sementara afiliasi negara-negara Muslim dlm D8 -selain memberikan legitimasi bagi kudeta militer ternyata tak memberikan tawaran apapun semata kepuasan teologis bahwa gerakan Islam telah menjadi inisiator ‘kebangkitan kekuatan negara-negara Islam’.
Dalam konteks ini pula, sikap pragmatis AKP ternyata tak selamanya menjadi pilihan buruk. Kini militer & kubu sekuler mulai kehilangan landasan etik, moral & pragmatis utk menjadi penjaga gawang kepentingan Turki demikian pula back-up politik yang selama ini didapatkan dari menjual ketakutan ancaman Islam kepada Eropa.
Lebih dari itu, bagi gerakan Islam, evolusi kultural & transformasi politik yang mereka lakukan telah mencegah eskalasi konflik & pertumpahan darah. “Berdemokrasi seperti laik nya menaiki bis kota, kita tahu kapan berjalan & harus berhenti.” ujar Erdogan. Barangkali ini pula yang menyelamatkan gerakan Islam

sumber: www.al-ikhwan.net Puisi Religius, Gerakan Islam, Islamic Resurgence,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar