SEJARAH ACEH
Aceh
merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa
kejayaan Aceh di Zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan
Aceh mencapai pesisir Barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga
Perak.
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang
Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang.
Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan
memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana)
sebagai museum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam
rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh
kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga
saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad ke-16, Ratu Inggris yang paling berjaya Elizabeth
I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan
Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh
Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh
kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan
mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh.
Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang
gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan
tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan
yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk
Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama
Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti
Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan
Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan
rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul
Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang
singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya
meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan
dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum
pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani
di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang
diresmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami mendiang Ratu
Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya
untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di
Konstantinompel. Karena saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka
utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus
menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan
mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan
menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang
cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih
ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya
sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis.
Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang
amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah.
Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang
Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat
menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan
satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror
di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh
luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud
Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu
menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk
memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami
kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah
berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal,
Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang
merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau
merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau
pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat
itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya
adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa
dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang
menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat
karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan
sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri
kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya
terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh
seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan
dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo
Gubernor.
DALAM
INDONESIA
Apabila Republik Indonesia (RI) dibentuk pada 1945, Aceh
turut dimasukkan sebagai salah satu provinsinya.
Pada 1975, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diwujudkan bagi
menuntut kemerdekaan Aceh. Ini membawa kepada pertempuran puluhan tahun lamanya
di antara sebahagian penduduk Aceh dan tentera pemerintah Indonesia. Selain
itu, muncul juga tuntutan pungutan suara sebagai mekanisme rasa kekecewaan
rakyat Aceh terhadap pemerintah di Jakarta. Tuntutan itu disuarakan oleh para
cendekiawan muda Aceh yang menyertai pertubuhan Sentral Informasi Referendum
Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berusaha
merealisasikan keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Bersama GAM, SIRA berjaya menyunting semangat perjuangan rakyat Aceh untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.
Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri
semakin rancak dengan penubuhan berbagai-bagai pertubuhan di Aceh, seperti
KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM dengan mengemukakan
pelbagai jenis isu. HANTAM misalnya, dengan mengemukakan isu anti-tentera
berjaya membuahkan hasil pada tahun 2002 kerana dalam menuntut gencatan senjata
antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM juga bertindak memperkenalkan empat
bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Rusuhan turut
berlaku.
Akhirnya pada 19 Mei 2003, kerajaan Indonesia mengisytiharkan
darurat di Aceh melancarkan operasi ketenteraan selepas GAM menolak autonomi
khas yang diberikan pemerintah. Hasilnya kumpulan pemberontak itu berjaya
dipatahkan. Namun keadaan darurat masih lagi berlangsung apabila provinsi itu
dilanda gempa bumi 26 Disember 2004.
Bencana itu membawa kedua pihak kembali ke meja rundingan. Pada 17 Julai 2005, setelah perundingan selama 25 hari, pasukan perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finland. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Ogos 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah pasukan yang bernama "Misi Pemantau Aceh" yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Kesatuan Eropah. Di antara isi pentingnya adalah bahawa pemerintah Indonesia akan turut membantu pembentukan parti politik tempatan di Aceh dan pemberian pengampunan bagi anggota GAM. Kuasa autonomi khusus turut diberikan seperti yang ditawarkan pada 2002.
Bencana itu membawa kedua pihak kembali ke meja rundingan. Pada 17 Julai 2005, setelah perundingan selama 25 hari, pasukan perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finland. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Ogos 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah pasukan yang bernama "Misi Pemantau Aceh" yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Kesatuan Eropah. Di antara isi pentingnya adalah bahawa pemerintah Indonesia akan turut membantu pembentukan parti politik tempatan di Aceh dan pemberian pengampunan bagi anggota GAM. Kuasa autonomi khusus turut diberikan seperti yang ditawarkan pada 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar