NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan
rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang
mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara;
b. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan
rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menata Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bahwa untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu mewujudkan lembaga perwakilan
rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama
dengan pemerintah daerah yang mampu mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa dalam rangka peningkatan peran dan tanggung
jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga
perwakilan daerah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu
diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Mengingat: Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal
13, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A, Pasal 21,
Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4), Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 24C ayat (2), dan Pasal 37
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
KETENTUAN UMUM MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Tugas dan Wewenang Pasal 4
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang
diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil
Presiden dalam masa jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua)
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
(2) Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan
sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung
dalam sidang paripurna MPR.
(2) Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan
sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Anggota MPR mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.Fraksi dan Kelompok Anggota MPR Paragraf 1 Fraksi Pasal 11
(1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
(2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.
(5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.(6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi. Kelompok Anggota Alat kelengkapan MPR terdiri atas: a. pimpinan; dan b. panitia ad hoc MPR. Pimpinan Pasal 14
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang
berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri
atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua)
orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang
paripurna MPR.
(2) Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan
ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari
DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dan ditetapkan dalam rapat
paripurna DPR.
(4) Pimpinan MPR yang berasal dari DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan
ditetapkan dalam sidang paripurna DPD.
(5) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari
DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang
paripurna DPD.
(6) Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan
MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
(7) Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) adalah Ketua DPR sebagai Ketua Sementara MPR dan Ketua DPD
sebagai Wakil Ketua Sementara MPR.
(8) Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan.
(2) Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
a. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.
(3) Dalam hal pimpinan MPR berhenti dari jabatannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR diganti oleh anggota
yang berasal dari DPR atau DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak pimpinan MPR berhenti dari jabatannya.
(4) Penggantian pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan MPR dan dilaporkan dalam
sidang paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis
kepada anggota MPR.
(1) Dalam hal salah seorang pimpinan MPR atau lebih
berhenti dari jabatannya, pimpinan MPR lainnya mengadakan musyawarah
untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti
definitif.
(2) Dalam hal pimpinan MPR dinyatakan sebagai terdakwa
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih, pimpinan MPR yang bersangkutan tidak boleh
melaksanakan tugasnya.
(3) Dalam hal pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan
MPR yang bersangkutan melaksanakan tugasnya kembali sebagai pimpinan
MPR.
Panitia ad hoc MPR
(1) Panitia ad hoc MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) melaksanakan tugas yang diberikan oleh MPR.
(2) Setelah terbentuk, panitia ad hoc MPR segera menyelenggarakan rapat untuk membahas dan memusyawarahkan tugas yang diberikan oleh MPR.
a. mempersiapkan bahan sidang MPR; dan
b. menyusun rancangan putusan MPR.
(2) Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sidang paripurna MPR.
(3) Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai.
(1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR
tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(1) Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 (satu
pertiga) dari jumlah anggota MPR.
(2) Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis
dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta
alasannya.
(1) Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR.
(2) Setelah menerima usul pengubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memeriksa kelengkapan
persyaratannya yang meliputi:
a. jumlah pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); dan
b. pasal yang diusulkan diubah dan alasan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul pengubahan diterima.
(1) Dalam hal usul pengubahan tidak memenuhi
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2),
pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis
kepada pihak pengusul beserta alasannya.
(2) Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan
MPR memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (2), pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR
paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(3) Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang
telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
a. pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya;
b. fraksi dan Kelompok Anggota MPR memberikan pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan
c. membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji usul pengubahan dari pihak pengusul.
(1) Dalam sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc melaporkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c.
(2) Fraksi dan Kelompok Anggota MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap hasil kajian panitia ad hoc.
(1) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota MPR.
(2) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50%
(lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum Pasal 32
(1) Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk
menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka pelantikan Presiden dan
Wakil Presiden hasil pemilihan umum.
(2) Pimpinan MPR mengundang pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden dalam sidang paripurna MPR.
(3) Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32, pimpinan MPR membacakan keputusan KPU mengenai penetapan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan
dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan sidang paripurna MPR.
(5) Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
rapat paripurna DPR.
(6) Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
(7) Berita Acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan MPR.
(8) Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa jabatan.
Sumpah Presiden (Wakil Presiden): "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Presiden (Wakil Presiden): "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Pasal 35
(1) MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPR.
(1) MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR
untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
MPR menerima usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Usul DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2) harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, maupun perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
(1) Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil
Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan
pemberhentiannya dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1)
(2) Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil keputusan
terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1).
(3) Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diambil dalam
sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.
(1) Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden
berhenti dari jabatannya.
(2) Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil
Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa
jabatannya.
(3) Keputusan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden Pasal 40
(1) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR
segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil
Presiden menjadi Presiden.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden bersumpah menurut agama
atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden bersumpah menurut agama
atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Sumpah Presiden: "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Presiden: "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden Pasal 45
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam
puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden.
(2) Presiden mengusulkan 2 (dua) calon wakil presiden
beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum penyelenggaraan sidang paripurna MPR.
(3) Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil presiden yang
diusulkan oleh Presiden.
(4) Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pernyataan kesiapan
pencalonan dalam sidang paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan.
(5) Calon wakil presiden yang memperoleh suara
terbanyak dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan sebagai
Wakil Presiden.
(6) Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi.
(7) Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon
wakil presiden.
(1) MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (5) atau ayat (7) dalam sidang paripurna MPR dengan
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
sidang paripurna MPR.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang
paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Presiden bersumpah
menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat
paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat
paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil Presiden bersumpah
menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan
MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Sumpah Wakil Presiden: "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Wakil Presiden: "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Pasal 49
(1) Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49,
MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan.
(2) Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam
sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR
memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat
pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau gabungan partai
politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan calon presiden
dan wakil presidennya kepada pimpinan MPR.
(4) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menyampaikan kesediaannya secara
tertulis yang tidak dapat ditarik kembali.
(5) Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden
dan wakil presiden.
(6) Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi pasangan calon presiden
dan wakil presiden yang diajukan diatur dengan peraturan MPR tentang
tata tertib.
(1) Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil
presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) dilakukan dengan pemungutan suara.
(2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
memperoleh suara terbanyak dalam sidang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
(3) Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan
calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sama banyak, pemungutan suara diulangi 1 (satu) kali lagi.
(4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tetap sama, MPR memutuskan untuk mengembalikan
kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik
atau gabungan partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang
oleh MPR.
(5) Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
(1) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dalam sidang paripurna MPR
dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan sidang paripurna MPR.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Sumpah Presiden (Wakil Presiden): "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Presiden (Wakil Presiden): "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Imunitas Pasal 56
(2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau
rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan
tugas dan wewenang MPR.
(3) Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di
dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPR yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang
telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain
yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Protokoler Pasal 57
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Hak Keuangan dan Administratif Pasal 58
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan MPR dan
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 60
(2) Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pengambilan Keputusan Pasal 62
a. dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh
persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR
tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. dihadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen)
dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah
1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
(1) Pengambilan keputusan dalam sidang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 terlebih dahulu diupayakan dengan cara
musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil melalui
pemungutan suara.
(3) Dalam hal keputusan berdasarkan pemungutan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, dilakukan pemungutan
suara ulang.
(4) Dalam hal pemungutan suara ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hasilnya masih belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan:
a. pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang berikutnya; atau
b. usul yang bersangkutan ditolak. Penggantian Antarwaktu Pasal 65
(1) Penggantian antarwaktu anggota MPR dilakukan apabila terjadi penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD.
(2) Pemberhentian dan pengangkatan sebagai akibat penggantian antarwaktu anggota MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
Penyidikan Pasal 66
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota MPR yang disangka melakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota MPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti
permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.DPR Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 67 Fungsi Pasal 69
a. legislasi;
b. anggaran; dan c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
(1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan
atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang dan APBN.
Tugas dan Wewenang Pasal 71
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh
DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD
sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
f. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan
undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama;
g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,
serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang;
k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
m. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden;
q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;
r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan
aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara;
s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang.
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak
meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu
ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan
hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan
hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat
disandera paling lama 15 (lima belas) hari sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari
jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, DPR menyusun anggaran yang dituangkan dalam
program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPR dapat menyusun
standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas
bersama.
(3) Pengelolaan anggaran DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR di bawah pengawasan
Badan Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan
anggaran DPR dalam peraturan DPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) DPR melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.
Keanggotaan Pasal 74 (2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden. (3) Anggota DPR berdomisili di ibu kota Negara Republik Indonesia.
(4) Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan
sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung
dalam rapat paripurna DPR.
(2) Anggota DPR yang berhalangan mengucapkan
sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan
sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Hak DPR Pasal 77
a. interpelasi;
b. angket; dan c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud
pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 78 a. mengajukan usul rancangan undang-undang; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; dan h. keuangan dan administratif. Kewajiban Anggota Pasal 79 a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; g. menaati tata tertib dan kode etik; h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Fraksi Pasal 80
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi
sebagai wadah berhimpun anggota DPR.
(2) Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota
fraksinya dan melaporkan kepada publik.
(3) Setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(4) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(5) Fraksi mempunyai sekretariat.
(6) Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.
Alat Kelengkapan Pasal 81
a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah; c. komisi; d. Badan Legislasi; e. Badan Anggaran; f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara; g. Badan Kehormatan; h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; i. Badan Urusan Rumah Tangga; j. panitia khusus; dan k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan
dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR
tentang tata tertib.
Pimpinan Pasal 82
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4
(empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan
urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.
(2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
(3) Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari
partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat,
dan kelima.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan
urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan persebaran
perolehan suara.
(1) Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 ayat (1) belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan sementara
DPR.
(2) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil
ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi
terbanyak pertama dan kedua di DPR.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
sementara DPR ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik
bersangkutan yang ada di DPR.
(4) Ketua dan wakil ketua DPR diresmikan dengan keputusan DPR.
(5) Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya
mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
a. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR;
d. menjadi juru bicara DPR;e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; f. mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya;
g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR;
h. mewakili DPR di pengadilan;
i. melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan
penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
j. menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas
pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR
tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan.
(2) Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR
berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Badan Kehormatan DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya;
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau
g. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari
jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota pimpinan lainnya
menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas
pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang
definitif.
(4) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari
jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari
partai politik yang sama.
(5) Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari
jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(6) Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan
DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan
DPR.
Badan Musyawarah Pasal 87
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak
1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan
jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
a. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1
(satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang,
perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu
penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan
rapat paripurna untuk mengubahnya;
b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR;
c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat
kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan
mengenai pelaksanaan tugas masing-masing;
d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam
hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan
konsultasi dan koordinasi dengan DPR;
e. menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR;
f. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah
komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah
dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan
g. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah.
(2) Badan Musyawarah menyusun rancangan anggaran untuk
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya
disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Komisi Pasal 93
(1) DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat
paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun
sidang.
(1) Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh
anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan
proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR
setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
(1) Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah
mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan
rancangan undang-undang.
(2) Tugas komisi di bidang anggaran adalah:
a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai
penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
b. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul
penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
c. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk
fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga yang menjadi mitra
kerja komisi;
d. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan
pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan
ruang lingkup tugasnya;
e. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d, kepada Badan Anggaran
untuk sinkronisasi;
f. menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan penyampaian usul komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf e; dan
g. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil
pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf f untuk bahan akhir
penetapan APBN.
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
c. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dand. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
(4) Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dapat mengadakan:
a. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
b. konsultasi dengan DPD; c. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
d. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain;
e. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar
pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
f. kunjungan kerja.
(5) Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan
tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4).
(6) Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja
komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan
Pemerintah.
(7) Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa
keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk
dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan
berikutnya.
(8) Komisi menyusun rancangan anggaran untuk
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya
disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Badan Legislasi Pasal 99
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam
rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota
tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan
tahun sidang.
(1) Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih
dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang
dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan
Badan Legislasi.
a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang
memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta
alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun
anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD;
b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah;
c. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota,
komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang
tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;
e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan
undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau
DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di
luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi
nasional;
f. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau
penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh
Badan Musyawarah;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi
terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui
koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
i. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah
di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat
digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
(2) Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya
disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Badan Anggaran Pasal 104
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun
sidang.
(2) Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang
dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan
usulan fraksi.
(1) Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari
dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk
mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang
dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan
Badan Anggaran.
a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh
menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan
prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga
dalam menyusun usulan anggaran;
b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait;
c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN
bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada
keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran
untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(2) Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
(3) Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) harus mengupayakan alokasi anggaran
yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi.
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Pasal 110
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BAKN pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Anggota BAKN berjumlah paling sedikit 7 (tujuh)
orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang atas usul fraksi DPR yang
ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan
permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BAKN terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BAKN
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan BAKN sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dalam rapat BAKN yang dipimpin oleh pimpinan DPR
setelah penetapan susunan dan keanggotaan BAKN.
a. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR;
b. menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi;
c. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan
d. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana
kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan
kualitas laporan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, Pemerintah,
pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha
milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga
atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
(3) BAKN dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan.
(4) Hasil kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, dan huruf d disampaikan kepada pimpinan DPR dalam
rapat paripurna secara berkala.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen Pasal 117
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat
paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun
sidang.
(1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh
anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan
proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan BKSAP sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR
setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP.
a. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan
persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik
secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional
yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
(2) BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa
keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat
digunakan sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya.
Badan Kehormatan Pasal 123
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah
anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan
permulaan tahun sidang.
(2) Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas)
orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa
keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh
anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat
dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan yang
dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan
Badan Kehormatan.
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
c. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam)
kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR
tentang kode etik DPR.
(3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
(4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.Badan Urusan Rumah Tangga Pasal 130
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota BURT ditetapkan dalam rapat
paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun
sidang.
(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua
yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua
yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR
setelah penetapan susunan dan keanggotaan BURT.
a. menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR;
b. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal
DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
c. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan
alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan
DPR, DPD, dan MPR yang ditugaskan oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil
rapat Badan Musyawarah;
d. menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR; dan
e. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
Panitia Khusus Pasal 136
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia
khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi.
(2) Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang.
(1) Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari
dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk
mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang
ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat panitia khusus yang
dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan
panitia khusus.
(1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
(2) Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
(3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
(4) Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Paragraf 1 Pembentukan Undang-Undang Pasal 142
(2) Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR,
Presiden, atau DPD disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah
akademik.
(1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.
(2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara
tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi,
atau pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai daftar nama
dan tanda tangan pengusul.
(3) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:
a. persetujuan;
b. persetujuan dengan pengubahan; atau c. penolakan.
(4) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR
menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus
untuk menyempurnakan rancangan undang-undang tersebut.
(5) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
(1) Pengajuan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang
tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi
undang-undang.
(2) Pembahasan rancangan undang-undang tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi
undang-undang dilakukan melalui tingkat pembicaraan di DPR.
(1) Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan
secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.
(2) Penyebarluasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD.
(1) Pimpinan DPR setelah menerima rancangan
undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1)
memberitahukan adanya usul rancangan undang-undang tersebut kepada
anggota DPR dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam rapat
paripurna.
(2) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat paripurna berikutnya, berupa:
a. persetujuan;
b. persetujuan dengan pengubahan; atau c. penolakan.
(3) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi
persetujuan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, rancangan undang-undang
tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR.
(4) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi
persetujuan dengan pengubahan terhadap usul rancangan undang-undang yang
berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, rancangan
undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR dan
untuk selanjutnya DPR menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang
tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia
khusus.
(5) Dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul
rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, pimpinan DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan
tersebut kepada pimpinan DPD.
(6) Pimpinan DPR menyampaikan rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau rancangan undang-undang yang
telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Presiden
dan Pimpinan DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk menunjuk
menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan
undang-undang serta kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang
akan membahas rancangan undang-undang tersebut.
(7) Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum
menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
pembahasan rancangan undang-undang tetap dilaksanakan.
a. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
b. Tingkat II dalam rapat paripurna.
a. pengantar musyawarah;
(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini.
a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR;
b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD
menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e
berasal dari DPR;
c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden; atau
d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD
menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e
berasal dari Presiden.
(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR.
b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden.
(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan Tingkat I oleh:
a. fraksi;
b. DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e; dan
c. Presiden.
(5) Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d, dan/atau
pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Pembicaraan
Tingkat I tetap dilaksanakan.
(6) Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diundang pimpinan
lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang
berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
(1) Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap
fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat
paripurna; dan
c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang
tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
(1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan
undang-undang, termasuk pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN,
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.
(2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan
atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk
mendapat masukan dari masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam
penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan
DPR tentang tata tertib.
Penerimaan Pertimbangan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang Pasal 154
(1) DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan
tertulis terhadap rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang
disampaikan oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan
Presiden.
(2) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari Presiden, pimpinan DPR setelah
menerima surat Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD
memberikan pertimbangannya.
(3) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan surat
kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
(4) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) disampaikan secara tertulis melalui pimpinan DPR paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR,
kecuali rancangan undang-undang tentang APBN disampaikan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden.
(5) Pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR
memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD
atas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat
kelengkapan yang akan membahasnya.
Penetapan APBN Pasal 155
(1) Penyusunan rancangan APBN berpedoman pada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(2) Rancangan rencana kerja Pemerintah disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama dengan DPR.
(3) Rencana kerja Pemerintah yang telah dibahas dan
disepakati bersama dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
pedoman bagi penyusunan rancangan APBN untuk selanjutnya ditetapkan
menjadi satu kesatuan dengan APBN, dan menjadi acuan kerja Pemerintah
yang ditetapkan dengan keputusan Presiden.
a. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
b. pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan
penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota
keuangannya oleh Presiden;
c. pembahasan:
1. laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya;
2. penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau
perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun
anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya
pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis
belanja; dan/atau
d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
d. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang tentang APBN; dan
e. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(1) Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan
rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan
kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan
bulan Mei, yang meliputi:
a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya;
b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk
dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan
anggaran; dan
c. rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan.
(2) Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR pada tanggal 20 Mei tahun
sebelumnya atau sehari sebelumnya apabila tanggal tersebut jatuh pada
hari libur.
(3) Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat
kerja dan/atau rapat dengar pendapat untuk membahas rencana kerja dan
anggaran kementerian/lembaga tersebut.
(4) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Anggaran.
a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan
Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan
kegiatan kementerian/lembaga; dan
b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan
Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi
makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan
pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan
Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai
alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan
kementerian/lembaga.
(1) Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang
APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada
bulan Agustus tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN
dilakukan sesuai dengan tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150 dan Pasal 151.
(3) DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan
perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan
undang-undang tentang APBN.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan
undang-undang tentang APBN dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Dalam hal DPR tidak menyetujui rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat
melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka APBN tahun anggaran
sebelumnya.
(1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro
dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah
mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran
yang bersangkutan.
(2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau
b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan.
(3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
a. penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau
d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari
rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah
ditetapkan.
(4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang
tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu
paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan
undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada
DPR.
(5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi
makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan
dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan
keuangan Pemerintah.
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas,
dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan
kementerian/lembaga.
Pengajuan Calon dan Pemberian Persetujuan atau Pertimbangan atas Calon Pasal 164
(1) DPR mengajukan calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna.
(2) DPR memberikan persetujuan atau pertimbangan atas
calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan melalui rapat paripurna.
(3) Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) menugasi Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan
pembahasannya kepada alat kelengkapan terkait.
(4) Pembahasan oleh alat kelengkapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari
Presiden mengenai penempatan calon duta besar untuk negara lain,
pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna.
(2) Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menugasi alat kelengkapan terkait untuk membahasnya secara rahasia.
(1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari
Presiden mengenai penempatan calon duta besar negara lain untuk Republik
Indonesia, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat
paripurna tanpa menyebut nama calon duta besar.
(2) Dalam hal permintaan pertimbangan terhadap calon
duta besar negara lain untuk Republik Indonesia disampaikan pada masa
reses, permintaan tersebut dibahas dalam pertemuan konsultasi antara
pimpinan DPR, pimpinan komisi terkait, dan pimpinan fraksi.
Pemilihan Anggota BPK Pasal 170
(1) Kepada pimpinan DPD, pimpinan DPR memberitahukan
rencana pemilihan anggota BPK dengan disertai dokumen kelengkapan
persyaratan calon anggota BPK sebagai bahan DPD untuk memberikan
pertimbangan atas calon anggota BPK, paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum alat kelengkapan DPR memproses pelaksanaan pemilihan anggota
BPK.
(2) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga)
hari sebelum pelaksanaan pemilihan, yang selanjutnya segera disampaikan
kepada alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
digunakan sebagai bahan pertimbangan.
(3) Dalam hal pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disampaikan, pemilihan anggota BPK tetap dilaksanakan.
(4) Nama calon terpilih anggota BPK disampaikan oleh
DPR kepada Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa
jabatan anggota BPK berakhir.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
anggota BPK dan penerimaan pertimbangan dari DPD diatur dengan
peraturan DPR tentang tata tertib.
Pelaksanaan Hak DPR Paragraf 1 Hak Interpelasi Pasal 173
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima)
orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan
b. alasan permintaan keterangan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR
yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan
keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
anggota DPR yang hadir.
(1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 173 ayat (3) menyetujui usul interpelasi sebagai hak
interpelasi DPR, Presiden dapat hadir untuk memberikan penjelasan
tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna berikutnya.
(2) Apabila Presiden tidak dapat hadir untuk memberikan
p.enjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden
menugasi menteri/pejabat terkait untuk mewakilinya.
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2)
(2) Dalam hal DPR menerima keterangan dan jawaban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul hak interpelasi dinyatakan
selesai dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali.
(3) Dalam hal DPR menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak DPR lainnya.
(4) Keputusan untuk menerima atau menolak keterangan
dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat
persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu
perdua) jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih
dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Hak Angket Pasal 177
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang
anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
b. alasan penyelidikan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan
diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota
DPR yang hadir.
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas
semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat
memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan.
(2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.
(3) Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan
setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah,
panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya
kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
dibentuknya panitia angket.
(2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket.
(1) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.
(2) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket
tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(3) Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan putusan
diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota
DPR yang hadir.
Hak Menyatakan Pendapat Pasal 184
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (1) huruf c diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh
lima) orang anggota DPR.
(2) Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat
sekurang-kurangnya:
a. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;
b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf b; atau
c. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c atau
materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (4) huruf c.
(4) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling
sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak menyatakan pendapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang
terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak menyatakan pendapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan
kembali.
(1) Panitia khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185
ayat (2) melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus.
(2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia khusus.
(1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus
terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan
huruf b, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah.
(2) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus yang
menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR
menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah
Konstitusi.
(3) Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan
panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(4), hak menyatakan pendapat tersebut dinyatakan selesai dan tidak dapat
diajukan kembali.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR dan
keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) terbukti, DPR
menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) tidak
terbukti, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
dapat dilanjutkan.
Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang Pasal 190
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul
rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan DPR tentang tata tertib.
Hak Mengajukan Pertanyaan Pasal 191
(2) Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan kepada Presiden, pertanyaan tersebut disusun secara
tertulis, singkat, dan jelas serta disampaikan kepada pimpinan DPR.
(3) Apabila diperlukan, pimpinan DPR dapat meminta penjelasan kepada anggota DPR yang mengajukan pertanyaan.
(4) Pimpinan DPR meneruskan pertanyaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden dan meminta agar Presiden
memberikan jawaban.
(5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diumumkan.
(1) Jawaban terhadap pertanyaan anggota DPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 191 ayat (2) disampaikan secara lisan atau
tertulis oleh Presiden.
(2) Penyampaian jawaban oleh Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat Pasal 193
(1) Anggota DPR berhak menyampaikan usul dan pendapat
mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak
dibicarakan dalam rapat.
(2) Tata cara penyampaian usul dan pendapat
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai hak mengajukan pertanyaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Hak Memilih dan Dipilih Pasal 194
(1) Anggota DPR mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan DPR tentang tata tertib.
Hak Membela Diri Pasal 195
(1) Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran
sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai
anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan
keterangan kepada Badan Kehormatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Hak Imunitas Pasal 196
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR
ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan
wewenang DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di
dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi
serta tugas dan wewenang DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang
telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain
yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Protokoler Pasal 197
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Hak Keuangan dan Administratif Pasal 198
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPR dan
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 199
(1) Tahun sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus
dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya dan apabila
tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
(2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPR dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(3) Tahun sidang dibagi dalam 4 (empat) masa persidangan.
(4) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa
reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan
DPR, masa reses ditiadakan.
(5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), anggota DPR dan anggota DPD mendengarkan pidato
kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR
atau DPD secara bergantian.
Pengambilan Keputusan Pasal 202
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan
suara terbanyak.
(1) Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota
rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah fraksi,
kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak
menyatakan pendapat.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya
diserahkan kepada pimpinan DPR.
Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 206
(1) Tata tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPR.
(3) Tata tertib DPR paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;g. penggantian antarwaktu anggota; h. pengambilan keputusan; i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif; j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
l. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Kode Etik Pasal 207 Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 208
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai
pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik,
konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR serta hak sebagai anggota DPR.
(3) Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.
Sanksi Pasal 209
(1) Anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi berdasarkan keputusan
Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai
sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
(3) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (3) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
pemberhentian sebagai anggota DPR.
a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 213
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan.
(2) Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam)
kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf
c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik
kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR
menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk
memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf
g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang
dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari
pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai
pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan
oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan
Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan Badan
Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan
menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan
DPR, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan
Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan
DPR.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan
Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden
untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan
partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (1), Badan Kehormatan DPR
dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan
Kehormatan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan
Kehormatan.
Penggantian Antarwaktu Pasal 217
(1) Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 ayat (1) digantikan oleh
calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya
dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama
pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal
dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon
anggota DPR, anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan
oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya
dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang
diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu
kepada KPU.
(2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dan
ayat (2) kepada pimpinan DPR paling lambat 5 (lima) hari sejak
diterimanya surat pimpinan DPR.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama
calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
(4) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima
nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu
dari pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden
meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti
antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji
yang dipandu oleh pimpinan DPR, dengan tata cara dan teks sumpah/janji
sebagaimana diatur dalam Pasal 75 dan Pasal 76.
(6) Penggantian antarwaktu anggota DPR tidak
dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan
kurang dari 6 (enam) bulan.
Pemberhentian Sementara Pasal 219
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah
karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan
sebagai anggota DPR.
(3) Dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau
huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Penyidikan Pasal 220
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti
permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.DPD Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 221 Fungsi Pasal 223
a. pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
(2) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah.
Tugas dan Wewenang Pasal 224
a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan
undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan
dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama;
f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN,
pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti;
g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari
BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i. ikut serta dalam penyusunan program legislasi
nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan
pemerintah daerah, DPRD, dan unsur masyarakat di daerah pemilihannya.
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam
program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun
standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas
bersama.
(3) Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan
Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan
anggaran DPD dalam peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) DPD melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.
Keanggotaan Pasal 227 (2) Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR. (3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden.
(4) Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili
di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah
pemilihannya.
(5) Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan
sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung
dalam sidang paripurna DPD.
(2) Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan
sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan
sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."
(1) Di provinsi yang dibentuk setelah pelaksanaan
pemilihan umum tidak diadakan pemilihan anggota DPD sampai dengan
pemilihan umum berikutnya.
(2) Anggota DPD di provinsi induk juga mewakili provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum.
Hak DPD Pasal 231
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
c. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan
rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama;
d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan
agama.
Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 232 a. bertanya; b. menyampaikan usul dan pendapat; c. memilih dan dipilih; d. membela diri; e. imunitas; f. protokoler; dan g. keuangan dan administratif. Kewajiban Anggota Pasal 233 a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;
e. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;f. menaati tata tertib dan kode etik; g. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain; h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
i. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Alat Kelengkapan Pasal 234
a. pimpinan;
b. Panitia Musyawarah; c. panitia kerja; d. Panitia Perancang Undang-Undang; e. Panitia Urusan Rumah Tangga; f. Badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPD
diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pimpinan Pasal 235
(1) Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2
(dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam
sidang paripurna DPD.
(2) Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD.
(3) Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang
wakil ketua sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda
usianya.
(4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya
adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
(5) Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan keputusan DPD.
(6) Pimpinan DPD sebelum memangku jabatannya
mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
229 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
a. memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan; c. menjadi juru bicara DPD; d. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPD;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPD;
f. mewakili DPD di pengadilan;
g. melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan
penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
h. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD; dan
i. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Panitia Musyawarah Pasal 237
(2) Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan
rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pimpinan DPD dapat menetapkan jadwal dan acara tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Musyawarah diatur dengan
peraturan DPD tentang tata tertib.
Panitia Kerja Pasal 239
(1) Panitia kerja dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan panitia kerja ditetapkan oleh sidang
paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan
tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa
keanggotaan DPD.
(3) Panitia kerja dipimpin oleh pimpinan panitia kerja.
(1) Tugas panitia kerja dalam pengajuan rancangan
undang-undang adalah mengadakan persiapan dan pembahasan rancangan
undang-undang tertentu.
(2) Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan
undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan
pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD.
(3) Tugas panitia kerja dalam pemberian pertimbangan adalah:
a. melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD
mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
b. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang diajukan DPR.
a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu; dan
b. membahas hasil pemeriksaan BPK. Panitia Perancang Undang-Undang Pasal 242
(1) Panitia Perancang Undang-Undang dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang
ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD
dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun
sidang terakhir masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia Perancang Undang-Undang dipimpin oleh pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang.
a. merencanakan dan menyusun program serta urutan
prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa
keanggotaan DPD dan setiap tahun anggaran;
b. membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
c. melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang
disiapkan oleh DPD;
d. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau
penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh
Panitia Musyawarah dan/atau sidang paripurna;
e. melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam
rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang
sedang dibahas oleh panitia kerja;
f. melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang; dan
g. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah,
baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan
sebagai bahan oleh Panitia Perancang Undang-Undang pada masa
keanggotaan berikutnya.
Badan Kehormatan Pasal 245
(1) Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat
alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6
(enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD
sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD
tentang tata tertib dan kode etik DPD.
(3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
(4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.Panitia Urusan Rumah Tangga Pasal 248
(1) Panitia Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga ditetapkan
oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada
setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang
terakhir dari masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga.
a. membantu pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan
kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai
Sekretariat Jenderal DPD;
b. membantu pimpinan DPD dalam melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat
Jenderal DPD;
c. membantu pimpinan DPD dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD;
d. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan
masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh pimpinan DPD
berdasarkan hasil rapat Panitia Musyawarah; dan
e. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Panitia Urusan Rumah Tangga dapat meminta p.enjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal DPD.
(3) Panitia Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi
masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat
digunakan sebagai bahan oleh Panitia Urusan Rumah Tangga pada masa
keanggotaan berikutnya.
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang DPD Paragraf 1 Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pasal 251
(1) DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang berdasarkan program legislasi nasional.
(2) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah
akademik dapat diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau
panitia kerja.
(3) Usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diputuskan menjadi rancangan undang-undang yang berasal
dari DPD dalam sidang paripurna DPD.
(1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 251 ayat (3) beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah
akademik, disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat
pengantar dari pimpinan DPD.
(2) Surat pengantar pimpinan DPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyebut juga Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau
panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan
undang-undang tersebut.
(1) DPD ikut serta membahas rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf a bersama DPR dan
Presiden.
(2) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 148, Pasal 149 huruf a,
Pasal 150 ayat (1), Pasal 150 ayat (2) huruf b dan huruf d, serta Pasal
150 ayat (4) huruf b.
Pemberian Pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang Pasal 256
(1) Terhadap rancangan undang-undang tentang APBN, DPD
memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
(2) Terhadap rancangan undang-undang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan
DPR.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada DPR
setelah diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 154.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pemberian Pertimbangan terhadap Calon Anggota BPK Pasal 258
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR paling
lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
(4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 171.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Penyampaian Hasil Pengawasan Pasal 259
(1) DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf f
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
DPD tentang tata tertib.
Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK Pasal 260
(1) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang
disampaikan oleh pimpinan BPK kepada pimpinan DPD dalam acara yang
khusus diadakan untuk itu.
(2) DPD menugasi panitia kerja untuk membahas hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK setelah BPK menyampaikan penjelasan.
(3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD untuk
dijadikan bahan pertimbangan bagi DPR.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembahasan hasil
pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diatur dengan peraturan DPD tentang
tata tertib.
Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Bertanya Pasal 261
(2) Hak bertanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam sidang dan/atau rapat sesuai dengan tugas dan wewenang
DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf e.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak bertanya diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat Pasal 262
(1) Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat
mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak
dibicarakan dalam rapat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Hak Memilih dan Dipilih Pasal 263
(1) Anggota DPD mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan DPD tentang tata tertib.
Hak Membela Diri Pasal 264
(1) Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran
sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai
anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan
keterangan kepada Badan Kehormatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Hak Imunitas Pasal 265
(2) Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPD
ataupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan
wewenang DPD.
(3) Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di
dalam rapat DPD maupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi
serta tugas dan wewenang DPD.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang
telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain
yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Protokoler Pasal 266
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Hak Keuangan dan Administratif Pasal 267
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPD dan
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 268
(1) Tahun sidang DPD dimulai pada tanggal 16 Agustus
dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya, dan apabila
tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
(2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(3) Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai dengan penugasan DPD.
(4) Sidang DPD di ibu kota negara dalam hal pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang mengikuti masa sidang DPR.
(5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), anggota DPD dan anggota DPR mendengarkan pidato
kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPD
atau DPR secara bergantian.
Pengambilan Keputusan Pasal 271
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat/sidang DPD pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan
suara terbanyak.
(1) Setiap rapat atau sidang DPD dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota
rapat atau sidang.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak terpenuhi, rapat atau sidang ditunda paling banyak 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh
empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya
diserahkan kepada pimpinan DPD.
Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 275
(1) Tata tertib DPD ditetapkan oleh DPD dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD.
(3) Tata tertib DPD paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. pemilihan dan penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. penggantian antarwaktu anggota;g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan; h. pengambilan keputusan; i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif; j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k. pengaturan protokoler; l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
m. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Kode Etik Pasal 276 Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 277
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai
pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik,
konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas dan wewenang DPD serta hak sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.
Sanksi Pasal 278
(1) Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dikenai sanksi berdasarkan
keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai
sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (3) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
pemberhentian sebagai anggota DPD.
a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 282
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan.
(2) Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat
alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6
(enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; atau
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c
diusulkan oleh pimpinan DPD yang diumumkan dalam sidang paripurna.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak usul pimpinan DPD
diumumkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pimpinan DPD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPD kepada Presiden
untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya usul pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 282 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf
f, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang
dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari
pimpinan DPD, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPD mengenai
pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan
oleh Badan Kehormatan DPD kepada sidang paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan
Kehormatan DPD yang telah dilaporkan dalam sidang paripurna sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan
Kehormatan DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(4) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya usulan pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (1), Badan Kehormatan DPD
dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan
Kehormatan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan
Kehormatan.
Penggantian Antarwaktu Pasal 286
(1) Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 283 ayat (1) dan Pasal 284 ayat (1) digantikan oleh
calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya
dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi
yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon
anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia,
mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
DPD, anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh
calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.
(3) Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang
diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu
kepada KPU.
(2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) dan
ayat (2) kepada pimpinan DPD paling lambat 5 (lima) hari sejak
diterimanya surat pimpinan DPD.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama
calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
(4) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima
nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu
dari pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden
meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPD pengganti
antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji
yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks
sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 228 dan Pasal 229.
(6) Penggantian antarwaktu anggota DPD tidak
dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikan
kurang dari 6 (enam) bulan.
Pemberhentian Sementara Pasal 288
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPD dinyatakan terbukti bersalah
karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan
sebagai anggota DPD.
(3) Dalam hal anggota DPD dinyatakan tidak terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau
huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPD yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Penyidikan Pasal 289
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPD yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPD:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti
permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.DPRD PROVINSI Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 290 Fungsi Pasal 292
a. legislasi;
b. anggaran; dan c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi.
Tugas dan Wewenang Pasal 293
a. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan
peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah
provinsi yang diajukan oleh gubernur;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian
gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat
dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD
provinsi tentang tata tertib.
Keanggotaan Pasal 294
(1) Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang.
(2) Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
(3) Anggota DPRD provinsi berdomisili di ibu kota provinsi yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima)
tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan
sumpah/janji.
(1) Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya
mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua
pengadilan tinggi dalam rapat paripurna DPRD provinsi.
(2) Anggota DPRD provinsi yang berhalangan mengucapkan
sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan
sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan provinsi setelah
pemilihan umum, pengisian anggota DPRD provinsi di provinsi induk dan
provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi induk dan
provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah
penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon
anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah
pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan
umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan
hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi
yang dibentuk setelah pemilihan umum;
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta
pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan
provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap
untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara
terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU provinsi induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan
bagi provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua
belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD provinsi hasil
pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah
dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi induk dan provinsi
yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Hak DPRD Provinsi Pasal 298
a. interpelasi;
b. angket; dan c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada
gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan pendapat
terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa yang
terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 299 a. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas; h. protokoler; dan i. keuangan dan administratif. Kewajiban Anggota Pasal 300 a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Fraksi Pasal 301
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang DPRD provinsi, serta hak dan kewajiban anggota DPRD provinsi,
dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD provinsi.
(2) Setiap anggota DPRD provinsi harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
provinsi mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di
DPRD provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk
fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak ada satu partai politik yang
memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD provinsi menyediakan sarana,
anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi
sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.
Alat Kelengkapan DPRD Provinsi Pasal 302
a. pimpinan;
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.b. Badan Musyawarah; c. komisi; d. Badan Legislasi Daerah; e. Badan Anggaran; f. Badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan,
serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD provinsi diatur dengan
peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) sampai
dengan 100 (seratus) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai
dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
c. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai
dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di
DPRD provinsi.
(3) Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi
yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama
di DPRD provinsi.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang
berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi dilakukan berdasarkan persebaran
wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara
berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi
yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua,
ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD
provinsi yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka
kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD provinsi yang berasal dari
partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil
perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai
politik yang lebih luas secara berjenjang.
(1) Dalam hal pimpinan DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1) belum terbentuk, DPRD provinsi
dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD provinsi.
(2) Pimpinan sementara DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu)
orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD provinsi.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai
politik bersangkutan yang ada di DPRD provinsi.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
(5) Pimpinan DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya
mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
296 yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
pimpinan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang
tata tertib.
a. DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi;
b. DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.
Pelaksanaan Hak DPRD Provinsi Paragraf 1 Hak Interpelasi Pasal 306
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh
lima) orang;
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
interpelasi DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna DPRD provinsi yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua)
jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan
lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
Hak Angket Pasal 308
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh
lima) orang;
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna
DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi
yang hadir.
(1) DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (1)
(2) Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi membentuk panitia
angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan
keputusan DPRD provinsi.
(3) Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan
kembali.
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309
ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
298 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah provinsi, badan hukum,
atau warga masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau patut
mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta
untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal
yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau
warga masyarakat di provinsi yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD provinsi, kecuali ada alasan yang
sah menurut peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pejabat pemerintah provinsi, badan hukum,
atau warga masyarakat di provinsi telah dipanggil dengan patut secara
berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Hak Menyatakan Pendapat Pasal 313
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh
lima) orang;
b. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari
rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
DPRD provinsi yang hadir.
Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Imunitas Pasal 315
(2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD
provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan
fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti
antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD provinsi maupun di luar rapat
DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD
provinsi.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang
telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain
yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Protokoler Pasal 316
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Hak Keuangan dan Administratif Pasal 317
(1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan
dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan yang besarannya
disesuaikan dengan kemampuan daerah.
(4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD
provinsi sesuai dengan peraturan pemerintah.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 318
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD provinsi dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa
reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan
DPRD provinsi, masa reses ditiadakan.
Pengambilan Keputusan Pasal 321
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan
suara terbanyak.
(1) Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan
atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk
mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil
gubernur;
b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan
DPRD provinsi serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah;
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua)
jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain
rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b;
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan
dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang
ditetapkan oleh Badan Musyawarah.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga
terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga
terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan
pimpinan fraksi.
Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 325
(1) Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD provinsi.
(3) Tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;g. penggantian antarwaktu anggota; h. pembuatan pengambilan keputusan; i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi; j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k. pengaturan protokoler; dan l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli. Kode Etik Pasal 326 Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 327
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan
sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan
publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain
yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD provinsi serta hak
sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.
Sanksi Pasal 328
(1) Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dikenai sanksi
berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (1) dan/atau ayat
(2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (3) berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai
sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 332
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan.
(2) Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD provinsi selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD provinsi;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6
(enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat
(2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan
partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada
Menteri Dalam Negeri.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD provinsi
menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri
Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyampaikan
usul tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
(4) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPRD provinsi dari
gubernur.
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f,
dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi
yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas
pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai
pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD provinsi kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan
kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan
keputusan badan kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan partai politik
yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan
menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan
DPRD provinsi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
keputusan badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dari pimpinan DPRD provinsi.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD provinsi paling lama 7
(tujuh) hari meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui
gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur
menyampaikan keputusan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
(7) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atau
keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari
gubernur.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), badan kehormatan DPRD
provinsi dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan
kehormatan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang
tata beracara badan kehormatan.
Penggantian Antarwaktu Pasal 336
(1) Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (1) dan Pasal 334 ayat (1)
digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari
partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD
provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai
politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti
antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang
digantikannya.
(1) Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota
DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon
pengganti antarwaktu kepada KPU provinsi.
(2) KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti
antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336
ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5
(lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
calon pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi
yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri
Dalam Negeri melalui gubernur.
(4) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur menyampaikan
nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri.
(5) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima
nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri
Dalam Negeri meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan
keputusan Menteri Dalam Negeri.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi
pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan
sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi,
dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal
295 dan Pasal 296.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak
dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang
digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pemberhentian Sementara Pasal 339
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti
bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan
diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan
diaktifkan.
(4) Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Penyidikan Pasal 340
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi yang disangka melakukan tindak
pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya
permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD provinsi:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti
permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.DPRD KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 341 Fungsi Pasal 343
a. legislasi;
b. anggaran; dan c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota.
Tugas dan Wewenang Pasal 344
a. membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan
peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian
bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri
Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan
dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat
dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang tata tertib.
Keanggotaan Pasal 345
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima puluh) orang.
(2) Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5
(lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang
baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku
jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu
oleh ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna DPRD kabupaten/kota.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan
mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD
kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan kabupaten/kota
setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD kabupaten/kota di
kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan
umum dilakukan dengan cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota induk
dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan
jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon
anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah
pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah
pemilihan umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan
hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan
kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta
pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan
kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan
umum;
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap
untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara
terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan
bagi kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk
12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD
kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah
dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota induk dan
kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Hak DPRD Kabupaten/Kota Pasal 349
a. interpelasi;
b. angket; dan c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada
bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar
biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya
atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 350 a. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas; h. protokoler; dan i. keuangan dan administratif. Kewajiban Anggota Pasal 351 a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Fraksi Pasal 352
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi serta tugas
dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban anggota DPRD
kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD
kabupaten/kota.
(2) Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD kabupaten/kota.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di
DPRD kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau
membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak ada 1 (satu) partai politik yang
memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), maka dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan
sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas
fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.
Alat Kelengkapan Pasal 353
a. pimpinan;
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.b. Badan Musyawarah; c. komisi; d. Badan Legislasi Daerah; e. Badan Anggaran; f. Badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan,
serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur
dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
a. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua
untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima)
sampai dengan 50 (lima puluh) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua
untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai
dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di
DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD
kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi
terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD
kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara
terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), penentuan ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan
persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara
berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD
kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara
terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD
kabupaten/kota yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD kabupaten/kota yang
berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil
perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara
partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(1) Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 354 ayat (1) belum terbentuk, DPRD kabupaten/kota
dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota.
(2) Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu)
orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil
partai politik bersangkutan yang ada di DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
(5) Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku
jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 347 yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang tata tertib.
a. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi;
b. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.
Pelaksanaan Hak DPRD Kabupaten/Kota Paragraf 1 Hak Interpelasi Pasal 357
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima)
orang;
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu
perdua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil
dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota DPRD
kabupaten/kota yang hadir.
Hak Angket Pasal 359
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima)
orang;
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
angket DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
(1) DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 ayat (1).
(2) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota membentuk
panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota
dengan keputusan DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat
diajukan kembali.
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360
ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
349 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan
hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui
atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan
keterangan dan untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang
berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum,
atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD kabupaten/kota
kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan
hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota telah dipanggil dengan
patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa
dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Menyatakan Pendapat Pasal 364
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima)
orang;
b. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan
dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya
2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Imunitas Pasal 366
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di
depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD
kabupaten/kota ataupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan
dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti
antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD kabupaten/kota maupun di luar
rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan
wewenang DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang
telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain
yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Protokoler Pasal 367
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Hak Keuangan dan Administratif Pasal 368
(1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan
dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh tunjangan yang
besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
(4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD
kabupaten/kota sesuai dengan peraturan pemerintah.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 369
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa
reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan
DPRD kabupaten/kota, masa reses ditiadakan.
Pengambilan Keputusan Pasal 372
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan
suara terbanyak.
(1) Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengambil
persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat
serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian
bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota;
b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk memberhentikan
pimpinan DPRD kabupaten/kota serta untuk menetapkan peraturan daerah dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua)
jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat paripurna DPRD
kabupaten/kota selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf
b.
a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b;
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan
dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang
ditetapkan oleh Badan Musyawarah.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga
terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga
terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota
dan pimpinan fraksi.
Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 376
(1) Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota.
(3) Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;g. penggantian antarwaktu anggota; h. pembuatan pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;k. pengaturan protokoler; dan l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli. Kode Etik Pasal 377 Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 378
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan
pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta,
akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan
pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD
kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarang menerima gratifikasi.
Sanksi Pasal 379
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 dikenai sanksi
berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan
terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat
(1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD
kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan
terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat
(3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 383
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3
(tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya
sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f . tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (1) huruf a dan huruf b serta
pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh
pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan
tembusan kepada gubernur.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD
kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD
kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh
peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota
menyampaikan usul tersebut kepada gubernur.
(4) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari
bupati/walikota.
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d,
huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan
verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD
kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD kabupaten/kota,
masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota yang telah dilaporkan dalam rapat
paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD
kabupaten/kota menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD
kabupaten/kota kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan
menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan
DPRD kabupaten/kota, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD kabupaten/kota
meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk
memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur.
(7) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota atau
keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari
bupati/walikota.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (1), badan kehormatan DPRD
kabupaten/kota dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang tata beracara badan kehormatan.
Penggantian Antarwaktu Pasal 387
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhenti
antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (1) dan Pasal 385
ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat
perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang
sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai calon anggota, anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota
yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik
yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota pengganti
antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota
yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama
anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan antarwaktu dan meminta
nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU kabupaten/kota.
(2) KPU kabupaten/kota menyampaikan nama calon
pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 387 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota
paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD
kabupaten/kota.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
calon pengganti antarwaktu dari KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota
DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu kepada gubernur melalui bupati/walikota.
(4) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bupati/walikota
menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan
nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur.
(5) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima
nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), gubernur meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan
keputusan gubernur.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD
kabupaten/kota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD
kabupaten/kota, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana
diatur dalam Pasal 346 dan Pasal 347.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota
tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota
yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pemberhentian Sementara Pasal 390
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan
terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang
bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan
tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang
bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.
Penyidikan Pasal 391
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota yang disangka melakukan
perbuatan pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari gubernur.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diberikan oleh gubernur dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD kabupaten/kota:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti
permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.SISTEM PENDUKUNG Bagian Kesatu Sistem Pendukung MPR, DPR, dan DPD Paragraf 1 Organisasi Pasal 392
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenang MPR, DPR, dan DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal MPR,
Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD yang susunan
organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas usul
lembaga masing-masing.
(2) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenang DPR, dibentuk badan fungsional/keahlian yang ditetapkan dengan
peraturan DPR setelah dikonsultasikan dengan Pemerintah.
(3) Badan fungsional/keahlian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) secara fungsional bertanggung jawab kepada DPR dan secara
administratif berada di bawah Sekretariat Jenderal DPR.
(4) Pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan pimpinan DPD
melalui alat kelengkapan melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan
sarana dan prasarana dalam kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD.
Pimpinan Organisasi Pasal 393
(1) Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR,
dan Sekretariat Jenderal DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392,
masing-masing dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal yang diusulkan
oleh pimpinan lembaga masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang kepada
Presiden.
(2) Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pada dasarnya berasal dari pegawai negeri sipil profesional yang
memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Sebelum mengajukan usul nama calon sekretaris
jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pimpinan
lembaga masing-masing harus berkonsultasi dengan Pemerintah.
(4) Usul nama calon Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris
Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan lembaga masing-masing
untuk diangkat dengan keputusan Presiden.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal
MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD bertanggung
jawab kepada pimpinan lembaga masing-masing.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
dan tata cara pertanggungjawaban sekretaris jenderal diatur dengan
peraturan lembaga masing-masing.
Pegawai Pasal 394
(1) Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat
Jenderal DPR dan badan fungsional/keahlian DPR, serta Sekretariat
Jenderal DPD terdiri atas pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap.
(2) Ketentuan mengenai manajemen kepegawaian MPR, DPR,
dan DPD diatur dengan peraturan lembaga masing-masing yang dibahas
bersama dengan Pemerintah untuk ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Kelompok Pakar atau Tim Ahli Pasal 395
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPR
dan DPD dibentuk kelompok pakar atau tim ahli yang diperbantukan
terutama kepada anggota.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris
Jenderal DPR atau Sekretaris Jenderal DPD sesuai dengan kebutuhan atas
usul anggota.
Sistem Pendukung DPRD Provinsi Paragraf 1 Sekretariat Pasal 396
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenang DPRD provinsi, dibentuk sekretariat DPRD provinsi yang susunan
organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sekretariat DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD provinsi yang diangkat
dan diberhentikan dengan keputusan gubernur atas persetujuan pimpinan
DPRD provinsi.
(3) Sekretaris DPRD provinsi dan pegawai sekretariat DPRD provinsi berasal dari pegawai negeri sipil.
Kelompok Pakar atau Tim Ahli Pasal 397
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD provinsi, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris
DPRD provinsi sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan
daerah.
(3) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang
DPRD provinsi yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD provinsi.
Sistem Pendukung DPRD Kabupaten/Kota Paragraf 1 Sekretariat Pasal 398
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk sekretariat DPRD kabupaten/kota
yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan
daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD
kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan
bupati/walikota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Sekretaris DPRD kabupaten/kota dan pegawai sekretariat DPRD kabupaten/kota berasal dari pegawai negeri sipil.
Kelompok Pakar atau Tim Ahli Pasal 399
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris
DPRD kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan
kemampuan daerah.
(3) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang
DPRD kabupaten/kota yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD
kabupaten/kota.
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 400 KETENTUAN PERALIHAN Pasal 401 KETENTUAN PENUTUP Pasal 405 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Diundangkan di Jakartapada tanggal 29 Agustus 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO pada tanggal 29 Agustus 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA |
Rabu, 28 November 2012
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar